APAKABARNEWS.COM – Harus kita ingat bahwa Jokowi tidak berdiri sendirian.
Kemunculan Jokowi sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat.
Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Wamen Kominfo Angga Raka Prabowo Fokus Tangani PDP dan Judi Online, Ungkap Pesan Prabowo Subianto
SCROLL TO RESUME CONTENT
Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya.
Ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan sesaat seperti pembakaran perahu yang telah lama terampas oleh menteri baru.
Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual.
Baca Juga:
Jokowi Sudah Ucapkan Selamat kepada Prabowo Subianto Melalui Telpon Usai Menang Pilpres 2024
Jadi Presiden atau Tidak, Prabowo Subianto akan Buat Sekolah Unggulan di Langowan, Minahasa, Sulut
Tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran.
Seperti kata Bung Karno, “Orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.”
Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran televisi kita.
Membudayakan semacam “the cult of philistinism” (pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis).
Baca Juga:
Mengundurkan Diri dari Ketua KPK, Firli Bahuri Sampaikan Permintaan Maaf kepada Presiden Jokowi
Minggu Ini Presiden Jokowi Reshuffle Kabinet Lagi, Penggantinya Sosok dari Koalisi Indonesia Maju?
Peluluhan daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi pemodal untuk mengarahkan pilihan rakyat lewat kampanye media.
Kekuatan pemodal yang cenderung menepikan kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah.
Lewat manajemen impresi, subtansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan.
Maka, para pemimpin terpilih mencerminkan defisit pemikiran. Dengan begitu, negara tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat.
Sengkarut negara mencerminkan sengkarut pemikiran.
Hal ini tercemin mulai dari ketidakberesan hasil amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, desain institusi-institusi demokrasi, hingga ketidaktepatan pilihan kebijakan dan orang.
Oleh: Yudi Latif, Aktivis dan Cendekiawan.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Apakabarnews.com, semoga bermanfaat.