APAKABAR NEWS – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengomentari penahanan 4 tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait penerbitan surat ijin ekspor minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO).

Menurut LaNyalla, kasusyang menyeret pejabat Kementerian Perdagangan dan 3 petinggi Perusahaan Kelapa Sawit besar, menjadi bukti kerakusan oligarki penguasa sawit.

“Ini yang saya katakan, bahwa Oligarki begitu mempengaruhi kebijakan di pemerintahan,” tandas LaNyalla di sela reses di Jawa Timur, Rabu, 20 April 2022.

“Seharusnya kementerian menjaga kuota ekspor dengan memperhatikan Domestic Market Obligation (DMO)”.

“Malah berbuat sebaliknya, dengan mengeluarkan persetujuan ekspor CPO,” kata La Nyala, dikutip media ini dari akun Instagram @dpdri.

Ditambahkan LaNyalla, penentuan DMO sebesar 30 persen oleh pemerintah sebenarnya untuk menjaga pasokan kebutuhan dalam negeri.

Termasuk menjaga suplay and demand pabrik minyak goreng.

“Tetapi karena harga ekspor CPO sedang tinggi, dan permintaan di luar negeri banyak, mereka jadi rakus,” imbuhnya.

Kasus ini, lanjut LaNyalla, bukan hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi kerugian perekonomian negara.

Karena akibat kuota DMO yang berkurang, minyak goreng terdampak menjadi langka dan mahal.

Sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan uang dari pajak rakyat untuk BLT, agar masyarakat mampu membeli minyak goreng yang mahal.

“Jadi uang negara dikeluarkan, untuk mensubsidi kerakusan mereka.”

“Ini kerugian perekonomian negara. Bukan saja kerugian keuangan negara. Ini sudah melampaui batas.”

“Padahal DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) adalah atensi langsung presiden, dan yang menjadi garda depan untuk menjaga adalah kementerian perdagangan,” urainya.

Diungkap LaNyalla, padahal selama ini perusahaan kelapa sawit besar penerima dana triliunan rupiah dari program proyek BioDiesel dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).

Termasuk 3 yang ditetapkan Kejagung terlibat, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas dan Permata Hijau Grup.*